Waspadai Penyebab Perceraian Terbanyak, Peterpan & Cinderella Syndrome


Sudahkah Anda mempersiapkan anak agar tidak bercerai kelak? “Wah, sepertinya belum terbayang. Si anak saja masih kecil, masak sudah disiapkan bagaimana hidup berumah tangganya?”

Jawaban itu mungkin terlontar dari sebagian besar orangtua. Tahukah Ayah, Bunda, sukses tidaknya anak kita dalam rumah tangganya kelak, sangat bergantung pada didikan Anda saat ini?

Sepuluh, lima belas, bahkan dua puluh tahun lagi ketika tiba saatnya buah hati menikah, bukanlah waktu yang sebentar. Rasanya baru kemarin ia belajar berjalan, tak terasa kini hampir lulus sekolah. Gerbang pernikahan pun tak lama lagi akan dimasukinya. Jangan sampai Anda terlambat mengetahui bahwa di usianya yang dewasa, ia masih bersikap kekanakan. Salah satu penyebabnya, cara Anda mengasuh.

Perceraian Dini Meningkat

Kembali, rekor ‘tak sedap’ diraih negara kita. Menurut Elly Risman Musa, Psi dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), tingkat perceraian di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik dan di antara negara Islam. Lebih mencengangkan lagi, kebanyakan terjadi pada pasangan suami istri (pasutri) yang menikah kurang dari lima tahun!

Mengapa pasutri muda ini sangat mudah memilih berpisah sebagai solusi permasalahan rumah tangga mereka? Menurut beberapa narasumber yang diwawancarai YKBH, penyebab umum adalah ketidaksetiaan alias perselingkuhan, tekanan ekonomi, dan ketidakcocokan.

Soal tidak cocok, Elly menambahkan, kita memang tidak mungkin mengharapkan pasangan bisa cocok 100% dengan kita. “Harusnya bukan langsung bercerai, tapi bagaimana kita memperkecil perbedaan dan terus berusaha mencari kesamaan dengan pasangan,” ungkapnya gemas.

Tingkat stres dalam rumah tangga pasangan muda nampaknya begitu tinggi sehingga mereka ingin cepat melepaskan diri dari sumber stres. Hal ini sesuai dengan penjelasan Rustika Thamrin, Psi, psikolog pada Brawijaya Women & Children Hospital Jakarta, yang mengungkapkan skala stres hasil penelitian Holmes-Rake, “50% stres tertinggi yang dihadapi oleh orang dewasa diakibatkan oleh perkawinan.”

Si Putus Asa, Si Cepat Puas, dan Si Pemberani

Suzie, sebut saja demikian, mengarungi kehidupan bahagia selama dua tahun perkawinnya. Namun, setelah dikaruniai anak di tahun ketiga, semua berbalik seratus delapan puluh derajat. Ia dan suami malah sering bertengkar.

Suzie, yang lelah seharian mengurus bayi dan setumpuk pekerjaan rumah, sangat kecewa dengan Arie yang tak bisa dikoreksi, maunya santai seperti sebelum punya anak. Ia jadi cepat naik darah jika melihat suaminya tidur seharian saat libur, pergi dan pulang kerja begitu saja tanpa sedikit pun memperhatikan urusan rumah. Perlahan kebenciannya tumbuh, menyesal menikah dengan Arie.

Sedangkan bagi Arie, Suzie sudah sangat berubah. Tidak memberi kenyamanan lagi dan terlalu banyak menuntut. Semua yang dilakukan Arie selalu salah. Ini bukanlah kehidupan yang diinginkannya, terlalu banyak aturan. Ia jadi sering tidak sabar menghadapi Suzie yang ‘baru’.

Fenomena di atas kerap hinggap di pasutri muda. Masalah yang sebenarnya kecil jadi berlarut-larut, tidak terkomunikasikan dengan baik. Akhirnya, mereka tak tahan dan memilih bercerai.

Sesungguhnya merawat bayi dan segala urusan rumah tangga, bagi laki-laki seperti Arie sangatlah asing. Sebab, ia bukan tipe family man (laki-laki yang kepuasan batinnya ada dalam hubungan bersama keluarga). Tidak terbetik dalam otaknya apa yang dipikirkan oleh sang istri. Bahkan, ia merasa si bayi telah merampas habis kasih sayang Suzie darinya. Sebaliknya, apa yang dipikirkan Arie juga tidak pernah terbayang oleh Suzie. Intinya, keduanya tidak siap dengan konsekuensi baru dalam perkawinan, mengkomunikasikannya agar mencapai titik temu saja mereka tak mampu.

Sikap tidak tahan menghadapi penderitaan, tidak mampu mengatasi situsi sulit dan kurang tabah menghadapi ujian, yang akhirnya berakibat fatal ketika menikah, tidak timbul begitu saja. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua yang tanpa sadar membunuh karakter positif putra-putrinya sejak kecil. Jadilah mereka produk-produk Peterpan Syndrome dan Cinderella Complex(baca Kompak Mendidik Anak), dengan tingkat Adversity Quotient/AQ (kecerdasan untuk mengatasi kesulitan) sangat rendah.

Tahapan AQ, hasil penelitian Paul G. Stoltz sebagai temuan kecerdasan baru, ini dapat dianalogikan dengan tiga terminologi pendaki gunung. Yakni, quitter (mudah menyerah), sekadar bertahan hidup, dan cepat putus asa; camper (berkemah di tengah perjalanan), berani ambil risiko tapi hanya yang aman dan terukur, cepat puas, dan berhenti di tengah jalan; climber (pendaki yang mencapai puncak), berani menghadapi risiko dan menuntaskan pekerjaannya.

Anak tipe climber inilah yang ber-AQ tinggi, dan seyogyanya dibentuk dalam pola asuh orangtua sejak dini. Kelak menjadi bekal baginya, meski badai menerjang ia tetap bisa mengokohkan rumah tangganya.



Waspadai Ciri Rumah Tangga ‘Lampu Merah’

Rumah tangga ‘lampu merah’ berpotensi mengalami kehancuran, jika tidak segera dicarikan jalan keluar atas masalah yang bertumpuk. Coba cek lagi apakah indikasi berikut ini ada dalam rumah tangga kita, adik atau kakak kita, atau bahkan rumah tangga anak kita.
Previous
Next Post »