Muslimdaily.net – Diantara beberapa rukun Puasa adalah:
a. Niat, ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan) agama dengan lurus.”(Al-Bayyinah:5). Dan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:9 no:1, Muslim III:1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no:2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no:4277 dan Nasa’i I:59).
Niat yang tulus ini harus ditancapkan dalam hati sebelum terbit fajar shubuh setiap malam. Hal ini ditegaskan dalam hadits dari Hafshah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,“Barangsiapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar (shubuh), maka tiada puasa baginya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6538, ‘Aunul Ma’bud VII: 122 no: 2437, Tirmidzi :116 no: 726, dan Nasa’i IV: 196 dengan redaksi yang hampir sama).
b. Menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman, “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.(Al-Baqarah: 187).
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA Yang membatalkan puasa ada enam perkara :
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Oleh karena itu, jika makan atau minum karena lupa, maka yang bersangkutan tidak wajib mengqadha’nya dan tidak perlu membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa lupa, padahal ia berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6573, Muslim II,809 no:4455 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 155 no: 1923, Ibnu Majah I:535 no: 1673 dan Tirmidzi II: 441 no:717)
2. Muntah dengan sengaja
Maka dari itu, kalau seseorang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib mengqadha’nya dan tidak usah membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang terpaksa yang terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban qadha’ atasnya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka haruslah mengqadha!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6243, Tirmidzi II: 111 no: 716, ‘Aunul Ma’bud VII: no:2363 dan Ibnu Majah I : 536 no: 1676).
3. Haidh dan nifas, walaupun itu terjadi menjelang waktu menghrib.
Hal ini berdasar ijma’ ulama’
4. Jima’, yang karenanya orang yang bersangkutan wajib membayar kafarah sebagaimana termaktub dalam berikut ini :
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, tatkala kami sedang duduk-duduk di samping Nabi saw., tiba-tiba ada seorang sahabat bertutur, “Ya Rasulullah saya celaka,” Beliau bertanya, “Ada apa?” Jawabnya, “Saya berkumpul dengan isteriku, padahal saya sedang berpuasa (Ramadhan), “Maka sabda Rasulullah saw., “Apakah engkau mampu memerdekakan seorang budak?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu memberi makan enampuluh orang miskin? “Jawabnya, “Tidak”. Maka kemudian Nabi saw. diam termenung ketika kami sedang duduk termenung, tiba-tiba dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma kering. Lalu beliau bertanya, “Di mana orang yang tanya itu?” Jawabnya, “Saya (ya Rasulullah). “Sabda Beliau (lagi), “Bawalah sekeranjang kurma ini, lalu shadaqahkanlah (kepada orang yang berhak).” Maka (dengan terus terang) laki-laki itu berujar, “Akan kuberikan kepada orang yang lebih fakir daripada saya ya Rasulullah ? sungguh, di antara dua perkampungan itu tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada keluargaku,” Maka kemudian Rasulullah saw. tertawa hingga tampa gigi taringnya. Kemudian beliau bersabda kepadanya, “(Kalau begitu), berilah makan dari sekeranjang kurma ini kepada keluargamu.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari IV : 163 no: 1936, Muslim II: 781 no: 111, ‘Aunul Ma’bud VII : 20 no: 2373, Tirmidzi II : 113 no: 720 dan Ibnu Majah I : 534 no: 1671).
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.396 — 396.
from Muslimdaily/Pusat Media Islam
from
via Pusat Media Islam
ConversionConversion EmoticonEmoticon