Toleransi Berbalas Pembakaran

Oleh: Sarah Larasati Mantovani

HARI Jum’at, 17 Juli menjadi hari membara nan nestapa bagi Umat Muslim di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Tidak hanya mendapatkan penyerangan saat sedang melaksanakan shalat Idul Fitri, namun puluhan kios dan sebuah masjid terbakar akibat aksi anarkis para pemuda Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), seperti yang dilaporkan kompas.com pada 19 Juli lalu.

Surat dengan nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 tertanggal 11 Juli 2015 dan disahkan Pendeta Nayus Wendha bersama Sekretarisnya, Marthen Jingga, menjadi pemicu utama aksi anarkis yang menimbulkan luka bagi umat Islam Indonesia. Bagaimana tidak? Isi surat tersebut sangat provokatif karena melarang secara terang-terangan umat Islam untuk beribadah danmengamalkan ajaran agamanya.

Tiga larangan terdapat dalam surat provokatif tersebut, yaitu (1) acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengijinkan dilakukan di Wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga); (2) boleh merayakan hari raya di luar kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura; (3). Dilarang kaum muslimat memakai pakaian jilbab.

Tidak hanya itu, GIDI Wilayah Tolikara juga selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain mendirikan tempat-tempat ibadah di Wilayah Kabupaten Tolikara, di antaranya Gereja Adven di distrik Paido yang sudah ditutup dan mereka (umat Gereja Adven) telah bergabung dengan GIDI. (tempo.co.id, 21 Juli 2015).

Bahkan, sudah beberapa kali pula pihak Kementerian Agama Kabupaten Tolikara mengadakan pertemuan yang menghadirkan tokoh agama se-Kabupaten Tolikara, namun pihak Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara selalu menolak dengan dalih hasil Sidang Sinode GIDI memutuskan larangan tersebut sebagai hal mutlak berlaku di wilayah Tolikara.

Sikap keras yang ditunjukkan Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara membuat pihak Kementerian Agama sampai saat ini tidak dapat membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di Kabupaten Tolikara. (kompas.com, 19 Juli 2015).

Belum hilang bekas luka umat Islam dengan pelarangan jilbab sebagai seragam sekolah di Denpasar, Bali, kini umat Islam di Tolikara alami hal serupa, kali ini bukan hanya pelarangan jilbab, namun umat Islam di sana juga dilarang beribadah dan mendirikan tempat ibadah. Kalau pada jaman Orde Baru dulu, umat Islam yang mengakui Tuhan itu Satu disebut anti Pancasila malah sekarang tidak lagi disebut anti Pancasila namun tidak tanggung-tanggung, rumah ibadahnya dibakar.

Hamka (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981), salah satu ulama yang paling vokal dan berani terhadap penyebaran agama yang dilakukan secara paksa oleh umat Kristen angkat bicara dalam kolomnya yang pernah dimuat dalam majalah Panji Masyarakat “Toleransi Dibalas Dengan Tamparan” pada Orde Baru dan kini dibukukan oleh Pustaka Panjimas.

“Dan kita disuruh toleransi. Toleransi dengan tafsiran bahwa kita jangan atau lebih aktifnya dilarang menerangkan akidah kita, siapa yang berani menerangkan akidah kita, rumahnya bisa dikepung atau dia bisa diprotes”. (Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), hlm. 176).

Lebih lanjut, Hamka mengkritisi, umat Islam dituntut untuk toleransi saat umat Kristen menyerbu ke wilayah mayoritas Islam dengan mendirikan tempat ibadah dan meminta untuk tidak menghalangi, jika umat Islam menghalangi maka mereka akan mengadu pada luar negeri bahwa umat Islam lah yang tidak toleran.

“Biarkan mereka (orang Kristen) menyerbu ke tanah-tanah wilayah orang Islam, sebab negara kita negara kesatuan. Dan jangan dihalangi. Kalau kita halangi, kitalah yang disalahkan. Dan mereka akan menyebar berita ke pers-pers luar negeri bahwa kita yang salah (tidak toleran, red).

Tetapi mereka leluasa membakari kedai-kedai dan toko-toko orang Islam di Ambon”. (Hamka, Dari Hati ke Hati, hlm. 167).

Hamka bersyukur, sejak agama Islam masuk ke Indonesia seribu tahun yang lalu, umat Islam belum pernah menyiarkan agamanya dengan paksaan dan tipu daya karena Islam tidak memakai ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. (Hamka, Dari Hati ke Hati, hlm. 168)

Pesan Sejuk Soeharto

Pada saat Presiden kita bungkam terhadap peristiwa anarkis di Tolikara, menarik untuk mengangkat kembali pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto mengenai penyebaran agama dengan cara paksa dalam pidatonya tanggal 19 Agustus 1968, sebagaimana yang dikutip Hamka dalam kolomnya.

“Oleh karena itu praktek-praktek penyebaran agama dengan paksaan atau tipu daya adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri”.

Tidak hanya menyampaikan kritikan terhadap penyebaran agama dengan paksaan, ia juga menyampaikan pesan sejuk bernada penegasan bahwa pemerintah akan melindungi setiap agama di Indonesia, tidak hanya dari praktik penyebaran agama dengan paksaan namun juga dalam beribadah dan pengamalan ajaran agama.

“Saya menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada ancaman terhadap sesuatu agama; pemerintah akan sekuat tenaga melaksanakan kewajibannya untuk melindungi setiap agama di Indonesia”. (Hamka, Dari Hati ke Hati, hlm. 169).

Sebelumnya Presiden Soeharto sudah mengajukan solusi untuk masalah umat beragama ini saat diadakan Musyawarah Antar Agama pada 30 November 1967, yaitu pertama agar diadakan badan kontak antar agama dan kedua diadakan satu piagam yang ditandatangani bersama dan isinya menerima anjuran Presiden agar pemeluk suatu agama yang telah ada jangan dijadikan sasaran propaganda oleh agama lain. (Hamka, Dari Hati ke Hati, hlm. 182).

Namun ternyata pihak Kristen, baik Katolik maupun Protestan, tidak dapat menyetujui jika kebebasan mereka untuk menyiarkan agama mereka (walaupun dengan cara propaganda dan paksaan sekalipun) ke umat lain dibatasi oleh pemerintah. Padahal saat itu, umat Islam sudah menyetujui solusi yang juga disampaikan Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat.

Pun kasus Tolikara, kala umat Islam diminta untuk toleransi dan maklum di daerah minoritas, namun perlakuan toleransi itu berbalas dengan pembakaran, bagaikan air zamzam dibalas dengan air racun. Akankah hubungan antar agama terus menimbulkan ketegangan? Saya harap tidak terjadi lagi di masa depan.

Penulis merupakan alumni Mahasiswa Master Pemikiran Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta

from Hidayatullah



from
via Pusat Media Islam
Previous
Next Post »