Bagaimana Mengetahui Dokter Menjadi Sales Obat?



Pertanyaan itu dilontarkan peserta diskusi 'Etika Pemasaran dan Prinsip Anti Gratifikasi di Sektor Kesehatan' dan direspons oleh Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran (KMKEK) IDI Prijo Sidipratomo. Jawabannya?

"Lihat saja resep dokter itu, satu pabrik nggak? Kalau iya (satu pabrik), itu indikasi kuat. Tapi belum tentu dokternya, bisa jadi rumah sakitnya juga. Begitu rumah sakit menjadi institusi corporate yang menuliskan aturan di rumah sakitnya," terang Prijo.

Prijo menjawab dalam forum diskusi itu di Royal Kuningan Hotel, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Selasa (15/12/2015). 

Diskusi ini juga dihadiri oleh Wahyudi Thohary, peneliti Transparency International Indonesia (TII) sebagai moderator; Inspektur Investigasi Inspektorat Jenderal Kemenkes Wayan Rai Suarthana; Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono; dan jajaran Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG).

Peserta diskusi waktu itu bertanya mengapa untuk obat flu saja bisa menghabiskan hingga Rp 300 ribu. Ia bahkan sudah meminta obat generik namun dijawab oleh dokter, "tidak dijamin". Dia pun bertanya apakah ada permainan antara dokter dan perusahaan obat.

Prijo kemudian menjelaskan bahwa di zaman krisis moneter dulu masih dimungkinkan dokter bekerjasama dengan perusahaan farmasi. Namun sekarang yang rumah sakit yang menjadi institusi pun rawan menjadi pemain.

"Peran corporate yang perlu ditengarai. Karena Kemenkes bilang (obat) generik kan ditentukan, dokter tinggal nulis saja," sambungnya. 
(nwk/nwk)

sumber: detik.com
Previous
Next Post »