Oleh: Ustadz Choirul Anam (Penulis buku best seller "Kota Roma Menanti Anda")
Hidup ini tak akan pernah lepas dari masalah. Bahkan hakikat hidup ini adalah mata-rantai dari masalah. Sehingga dalam hidup ini, manusia beraktivitas adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Kita lapar itu masalah. Lalu kita kerja untuk mencari uang. Setelah dapat uang itu masalah lagi, lalu kita ke toko untuk beli beras. Memiliki beras itu juga masalah, lalu kita masak agar jadi nasi. Tersedianya nasi itu juga masalah, lalu kita makan agar kenyang. Kenyang itu juga masalah yang serius, lalu kita buang air besar agar kotoran keluar dari tubuh kita. Setelah kotoran keluar itu masalah karena kita lapar lagi, lalu kita kerja lagi, cari uang lagi. Begitu seterusnya.
Mungkin ada sebagian orang berkata: “untuk apa makan, jika untuk dikeluarkan lagi!”. Pernyataan tersebut sebetulnya menggambarkan orang tersebut memiliki masalah yang sangat serius dan harus segera dibawa ke psikiater!!!
Hidup itu mata-rantai masalah. Menjalani hidup hakikatnya menjalani aktivitas untuk menyelesaikan mata-rantai masalah tadi. Jadi, solusi bagi orang yang tak mau ada masalah cuma satu: mati saja!
Lalu, apakah mati itu benar-benar menyelesaikan masalah? Saya tak tahu, karena saya belum pernah mati.
Tetapi, kata pencipta kehidupan dan kematian, Allah swt, setelah orang mati memang tidak ada masalah baru, tetapi setelah sesorang itu mati, ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan segala keputusannya di dalam hidup ini. Justru inilah: the true big problem! Inilah permasalahan terbesar kita!.
Karena itu, mengharapkan hidup tanpa masalah ibarat minum tanpa air atau bernafas tanpa udara. Mungkinkah itu?
Jadi, masalah itu adalah anugrah yang sangat besar dalam hidup ini. Dan masalah paling besar bagi manusia adalah “saat seseorang tak mengerti jika ia memiliki masalah”.
*****
Jika hidup adalah mata rantai masalah, mengapa kita harus bersusah payah menyelesaikannya? Toh, saat satu masalah selesai, akan muncul masalah baru lagi?
Iya, memang benar. Setiap selesai masalah, pasti akan muncul masalah baru. Tetapi disitulah indahnya. Itulah yang membuat hidup jadi dinamis. Itulah yang membuat hidup jadi “berwarna warni”.
Coba bayangkan, jika ada seorang mahasiswa, saat masuk tahun kelima, ia menghadapi masalah, yaitu belum lulus. Masuk tahun keenam, masih belum lulus juga. Sampai tahun ke sepuluh belum lulus juga. Beberapa tahun setelahnya, juga belum lulus. Orang ini layak mendapat gelar siswa-maha, bukan maha-siswa. Sebab, masalah selalu itu dan itu saja, yaitu belum lulus kuliah. Benar-benar hidup yang dipenuhi masalah yang “datar” dan “dingin”.
Beda ceritanya, mahasiswa yang dinamis. Saat tahun ketiga ia menghadapi masalah yang sama, yaitu belum lulus kuliah. Setelah itu ia berhasil menyelesaikannya. Ia lulus kuliah pada tahun keempat, misalnya. Seetelah itu, ia menghadapi masalah baru, yaitu pekerjaan. Dengan kerja kerasnya, ia berhasil mendapat pekerjaan (baik wirausaha atau sebagai karyawan). Setelah itu, ia menghadapi masalah baru, sebab ia belum memiliki istri. Lalu ia berusaha menyelesaikan masalahanya, lalu ia menikah. Setelah itu, ia menghadapi masalah baru lagi, karena belum memiliki anak. Lalu ia berusaha lagi, alhamdulillah memiliki anak. Setelah memiliki anak, banyak masalah baru lagi. Harus mengurus anak, bangun malam, memandikan, mengganti popok, dan lain sebaginya.
Jadi, masalah itu akan terus ada. Tetapi, jika suatu masalah diselesaikan akan membuat masalah itu beragam, dan membuat hidup sangat “dinamis” dan “berwarna-warni”.
*****
Kebagiaan dan juga kenikmatan bukan terletak pada tidak adanya masalah, tetapi kebahagiaan dan kenikmatan itu terletak di sela-sela manusia menyelesaikan masalahnya.
Saat manusia menghadapi masalah lapar, lalu ia makan. Pada saat ia makan, ia merasakan kenikmatan makan. Saat ia menghadapi masalah kenyang, lalu ia buang air besar, ia merasakan kenikmatan buang air besar. Saat ia lelah, lalu ia istirahat ia merasakan kenikmatan istirahat. Saat ia pergi ke tempat kerja, ia merasakan kenikmatan melihat pemandangan di jalan. Saat orang kerja, ia merasakan kenikmatan bertemu dan berjumpa dalam uang dalam bekerja. Saat mengantar anak, ia merasakan kenikmatan mengantar anak. Dan lain sebagainya. Nikmat itu merupakan respon fisik yang kita rasakan dalam suatu aktivitas menyelesaikan masalah. Nikmat itu tak bisa dilepaskan dari masalah.
Sedangkan bahagia memiliki level yang lebih tinggi dari sekedar nikmat. Bagi para penggemar ikan bakar, ia akan merasakan kenikmatan menyantap ikan bakar, tetapi ia belum tentu bahagia. Bisa jadi, ia merasakan kenikmatan ikan bakar, tetapi pada saat yang sama ia sangat sedih karena dikejar-kejar oleh rentenir.
Tidur di rumah yang megah dengan AC springbed yang empuk dan ac yang dingin itu nikmat. Apakah ia merasa bahagia? Belum tentu. Bisa jadi, di atas kasusrnya yang empuk, ia sedang sangat galau karena kasusnya sedang dilaporkan ke KPK. Pikirannya tidak karuan, melayang kemana-mana, membayangkan berada di jeruji besi dan diberitakan media massa serta dihujat oleh rakyat.
Menjadi pejabat tinggi dengan fasilitas yang lengkap itu nikmat. Apakah ia merasa bahagia? Belum tentu. Bisa jadi, ia tak berani ketemu dengan orang, sebab khawatir dihujat dan dihajar, karena telah menyengsarakan banyak rakyat. Ia merasa ketakutan dan khawatir hampir dalam semua situasi. Kemana-mana minta dikawal super ketat. Khawatir didemo, digugat dan dijatuhkan dari jabatannya. Ia selalu ketakutan kebohongannya diungkap ke publik, atau penyalah-gunaan wewenang yang ia lakukan dibeberkan di media massa. Lalu, kemana-mana ia bawa uang, untuk “menyumpal” mulut siapa saja yang ia temui. Ia pun masih terus khawatir, ada mulut-mulut lain yang belum ia “sumpal” dengan uang, lalu lantang berbicara ke publik. Hari-harinya hanya diisi dengan ketakutan dan kekhawatiran. Senyumannnya pun palsu, hanya pelengkap sandiwara. Gerak-geriknya tak lagi bebas, semua diatur oleh protokoler yang sangat membosankan.
Jadi, nikmat itu belum tentu bahagia.
Lalu apa itu bahagia? Bahagia adalah respon positif yang diberikan oleh hati dan pikiran kita terhadap fenomena yang terjadi.
Bahagia bukan terletak adanya sesuatu, atau adanya seseorang, atau selesainya masalah. Bahagia merupakan respon hati dan pikiran kita atas suatu fenomena, baik benda, orang, kejadian atau apapun.
Misalnya, sakit adalah suatu kejadian. Tentu, sakit itu tidak nikmat. Pertanyaannya, sakit itu membahagiakan atau tidak? Itu tergantung respon kita...
Jika orang merspon dengan positif, maka sakit itu membahagiakan. Misalnya, pada hari itu kita sedang menghadapi masalah yang teramat sangat rumit dan hari itu harus selesai di tempat kerja. Lalu kita berharap agar kita bisa tidak masuk kerja, sehingga pekerjaan itu diselesaikan oleh orang lain. Tetapi kita bingung cari alasan. Kebetulan saat itu kita sakit, batuk misalnya. Maka betapa senangnya kita. Dengan sangat mantap kita mengayunkan kaki ke dokter, minta surat keterangan sakit. Dengan segera kita telpon ke kantor, dengan sangat menyakinkan kita ijin karena sakit. Tentu kita tidak lupa batuk sekeras-kerasnya ditelpon meski dengan batuk keras kita merasa sakit, agar semua orang tahu, bahwa kita benar-benar sakit. Betapa senangnya kita. Dalam hal ini, sakit adalah solusi paling jitu untuk menyelesaikan masalah yang tak dapat kita hadapi.
Ceritanya akan beda, saat kita merespon negatif terhadap sakit. Misalnya ada suatu acara yang sangat bergengsi, dan kita merasa harus tampil di acara tersebut secara all-out agar semua orang tahu siapa kita. Kita berusaha mati-matian agar jadi salah satu MC atau pembicara, atau apapun. Lalu, dengan berbagai cara dan kelicinan kita, akhirnya kita berhasil mendapatkan kesempatan itu. Kita telah membayangkan ratusan mata atau ribuan mata akan memperhatikan kita. Kita telah membayakan wajah kita akan menghiasi TV-TV. Kita telah menyiapkan baju, sepatu, dan segala hal sedetil-detilnya. Kita dengan membusungkan dada berkata kepada semua orang, “saat ini semua orang tahu, siapa saya”. Setelah semua perjuangan panjang dan keculasan berhasil kita siapkan, tiba-tiba kita sakit yang membuat tak bisa tampil di acara yang telah kita bawa mimpi selama berbulan-bulan. Betapa kesalnya. Betapa jengekelnya. Betapa galaunya. Sungguh, sakit tersebut akan dikutuk sejadi-jadinya!
Jadi, meski sama-sama sakit: ada yang merespon dengan positif, sehingga ia merasakan kebahagiaan, ada juga yang merespon dengan negatif, sehingga ia merasakan kegelisahan dan penderitaan.
Bahagia bukan terletak adanya suatu benda, adanya fenomena atau adanya apapun. Bahagia terletak pada respon kita. Orang mengatakan: bahagia letaknya di dalam hati. Karena itu, saat orang mengatakan “Saya akan bahagia jika...... bla bla...”, itu ciri orang yang tidak bahagia. Ia belum bisa merespon dengan positif suatu kenyataan. Kebahagiannya masih dihalang-halangi oleh dirinya sendiri.
*****
Bahagia itu tidak mengharuskan adanya kenikmatan. Banyak orang yang bahagia, baik ada kenikmatan atau tidak. Sebaliknya, ada banyak orang yang tidak pernah bahagia meski kenikmatan ia rasakan setiap saat. Bahagia itu tidak mengharuskan adanya benda, pelayanan, orang, atau apapun. Bahagia itu respon hati kita.
Karena itu banyak orang berkata bahwa: “bahagia itu mudah”. Namun, sebenarnya pernyataan tersebut tidak selamanya benar. Meski, bahagia itu tidak mengharuskan adanya benda, pelayanan, orang, atau apapun, tetapi membuat hati bahagia itu tidak mudah. Bahkan di zaman sekarang, di zaman kapitalisme dan materealisme, bahagia itu: “benar-benar tidak mudah”.
Membuat hati merespon positif atas suatu kejadian, itu sangat bergantung pada cara pandang kita tentang kehidupan. Bahagia itu sangat erat kaitannya dengan akidah atau keimanan seseorang.
Saat orang terjebak pada materealisme dan kapitalisme, maka kebahagiaannya digantungkan pada materi atau segala sesuatu yang bersifat materi. Karena itu, ia hanya bahagia sebentar saat materi diperoleh, lalu hilang kebahagiannya sesaat setelah itu. Seetelah itu, ia sangat menderita karena dikejar-kejar oleh materi, gaya hidup, penilaian manusia, dan lain sebagainya. Ibaratnya: orang hanya bahagia satu detik saat terima gaji, setelah itu bingung dan frustasi menjalani kehidupan. Orang hanya bahagia sedetik saat dilantik jadi pejabat, setelah itu frustasi menjalani kehidupan.
Sebaliknya, orang yang berakidah Islam, yang paham dengan benar bahwa manusia hanyalah makhluk yang serba kurang dan lemah, serta ia menyadari bahwa hidupnya dikendalikan oleh Sang Mahapencipta, Sang Mahapengatur, Sang Mahakuasa, Allah swt; ia juga memahami dengan sedalam-dalamnya bahwa dunia ini adalah tempat untuk mengabdi kepada Allah, dunia adalah tempat bekerja kepada Allah yang hasilnya nanti akan dipetik di akhirat nanti; maka orang seperti ini mampu memberikan respon positif atas segala kejadian yang terjadi. Ia akan bersyukur dengan segala hal yang terjadi. Dan dia berusaha berbuat yang terbaik, baik sesuatu itu terjadi sesuai keinginannya atau tidak.
Saat ia sehat, ia bersyukur kepada Allah, lalu ia gunakan kesehatannya untuk berbuat yang terbaik di hadapan Allah. Saat sakit, ia bersyukur kepada Allah, ia merasa sangat dicintai Allah, diingatkan oleh Allah dengan sakitnya dan ia yakin sakitnya akan mengugurkan dosa-dosanya kepada Allah swt. Hatinya tidak lagi dikendalikan oleh kesehatannya, tetapi hatinya dikendalikan oleh akidahnya.
Saat ia memiliki kekayaan, ia bersyukur kepada Allah, lalu amanah kekayaan ia gunakan untuk beribadah kepada Allah, dan berdakwah di jalan Allah. Saat miskin, ia sangat bersyukur kepada Allah, ia merasa sangat dicintai Allah dengan diringankan hisabnya di hadapan Allah. Ia berbuat yang terbaik, baik dengan kekayaan atau kemiskinannya. Hatinya tidak lagi dikendalikan oleh kekayaan atau kemiskinannya, tetapi hatinya dikendalikan oleh akidahnya.
Saat ia dipuji orang, ia bersyukur kepada Allah, karena Allah telah mengutus salah satu hambanya untuk meningkatkan kinerjanya kepada Allah, yaitu dengan berbagai pujian. Saat dihina, ia pun bersyukur kepada Allah, karena ia menyadari sedang diajari Allah tentang makna keikhlasan.
Saat sesuatu berjalan sesuai keinginannya, ia bersyukur kepada Allah. Saat gagal, ia pun bersyukur karena ia sadar sedang diajari oleh Allah tentang makna kesabaran, kerja keras, dan keistiqomahan.
Jadi, orang yang akidahnya lurus akan membuat hatinya merasa bahagia dan bahagia. Tak ada lagi ketakutan atau kekhawatiran. Baginya kebahagiaan sejati adalah ridlo Allah. Sebaliknya, orang yang akidahnya bengkok, ia akan merasa menderita di dalam hidup ini. Ia akan merasa kurang, kurang dan kurang. Ia merasa belum mendapat sesuatu dalam segala hal. Ia hanya tersenyum sejenak, setalah itu hatinya bergejolak, panas dan dipenuhi dengan amarah dan fatamorgana.
Jadi, sesungguhnya menata akidah kita adalah: the true big problem in our life. Sebab, dengannya kita akan berbahagia atau tidak.
Akidah yang lurus, bukan akidah yang membuat kita sombong, lalu kita merasa pantas untuk mengajak debat siapa saja tentang akidah. Akidah yang lurus, bukan akidah yang membuat kita merasa lebih hebat dibanding orang lain, lalu dengannya kita menuduh orang lain sebagai orang sesat. Akidah yang lurus, bukan akidah yang ditandai dengan baju khas tertentu. Akidah yang lurus, bukan akidah yang membuat kita kemana saja berbicara tentang akidah. Akidah itu letaknya di hati, bukan di mulut.
Akidah yang lurus adalah akidah yang membuat kita sadar bahwa kita hanyalah hamba Allah, lalu kita berbuat yang terbaik melaksanakan syariah Allah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat atau negara. Lalu ia berjuang sekuat tenaga mempejuangkan syariahNya agak tegak di muka bumi ini. Sebab orang yang memiliki akidah lurus yakin seyakin-yakinnya, bahwa semua yang ia lakukan dan ia putuskan, akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah swt.
Wallahu a’lam.
ConversionConversion EmoticonEmoticon