Khitbah Bukanlah Ungkapan Cinta


Dr. Wahbah az-Zuhauliy (kitab fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid VII) menjelaskan khitbah: menampakan keinginan untuk menikah dengan seorang perempuan tertentu, dengan memberitahukan hal itu kepada perempuan tersebut atau keluarga atau walinya.
Sayid Sabiq (kitab Fiqh as-Sunnah, jilid II), menjelaskan khitbah: mengkhitbah seseorang artinya memintanya atau mengajaknya untuk menikah dengan cara-cara atau wasilah-wasilah yang ma’ruf di antara orang-orang.

Dengan demikian, khitbah secara singkat adalah thalab an-nikah (seruan/ajakan untuk menikah). Jadi, khitbah adalah seruan atau ajakan menikah dari seorang laki-laki kepada seorang wanita. Khitbah merupakan pintu gerbang ke arah nikah. Khitbah disyariatkan oleh Allah sebagai proses sebelum mengikat diri dalam satu ikatan perkawinan, agar kedua pihak yang akan menjalin ikatan dapat saling mengenal satu sama lain secara ma’ruf. Sehingga, keputusan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dilakukan dengan penuh kesadaran, dilandasi oleh petunjuk dan pertimbangan yang matang.

Khitbah harus mengandung seruan atau ajak baik dengan kalimat ajakan, permintaan secara langsung ataupun dengan lain yang bisa dipahami sebagai ajakan/seruan. Ajakan atau seruan yang dimaksud adalah ajakan atau seruan untuk menikah. Oleh karena itu, konteks kalimat ajakan atau seruan dalam khitbah adalah ungkapan maksud ajakan atau seruan untuk menikah.

Dengan demikian, khitbah bukanlah pengungkapan rasa tertarik, perasaan suka atau cinta. Maka mengkhitbah bukanlah dengan mengatakan kata-kata cinta atau mengungkapan rasa suka, misalnya dengan mengatakan “aku cinta sama kamu” atau “aku suka sama kamu”, “aku naksir kamu” dan sebagainya. Sekali lagi bukan seperti itu.

Khitbah harus memuat pernyataan atau maksud menjadikan wanita yang diseru atau diajak sebagai istri. Yakni pernyataan atau maksud untuk menikahi perempuan tersebut. Sederhananya, mengkhitbah seorang perempuan adalah mengajaknya untuk menikah.

Berbicara tentang keinginan menikah, wajar jika semua orang yang sudah mengenal lawan jenis, akan mempunyai keinginan menjalin hubungan lawan jenis tersebut. Sementara dalam menikah yang dibutuhkan tidak sekedar “keinginan untuk menikah”, apalagi “keinginan menyatakan cinta”. Melainkan sebuah keinginan yang kuat untuk segera menikah. Artinya, ia berkeinginan kuat untuk merealisasi keinginan menikah itu dalam waktu dekat, sesegera mungkin.

Jika seseorang belum bisa menentukan kapan sekiranya ia akan menikah, artinya ia belum memiliki keinginan kuat untuk menikah. Ia baru memiliki ‘sekadar keinginan’, bukan azam (keinginan kuat). Azam adalah niat yang mampu mendorong seseorang berusaha sekuat kemampuannya untuk merealisasikan apa yang dia azamkan. Karena azam menurut Al-Jurjani (kitab at-Ta’rifat, juz I) adalah ketegasan keinginan tanpa keraguan.

Azam tidak hanya perlu dimiliki oleh pengkhitbah (laki-laki) tapi juga yang dikhitbah (perempuan). Bagi wanita tersebut apakah sudah memiliki azam untuk berkeluarga atau belum terlihat dari motif sikap wanita tersebut ketika menerima khitbah. Jika ia belum berazam untuk berkeluarga, maka motivasi sikapnya baik menerima atau menolak lebih mungkin tidak bertolak dari pandangan yang matang. Sebaliknya lebih mungkin karena pertimbangan yang lebih bersifat artifisial, bukan maknawi, semisal karena wajah, “tongkrongan”, dan semisalnya.

Khitbah adalah keinginan seorang laki-laki yang memiliki azam untuk mengenal seorang perempuan yang akan dinikahi. Khitbah ini keinginan suci untuk mengajaknya ke jenjang pernikahan. Bukan hanya untuk melampiaskan keinginantahuan dan hasrat saja. Jadi khitbah bukanlah keinginan yang muncul hanya karena ingin agar si dia tak lepas khawatir ditangkap oleh yang lain, sementara tidak tahu kapan masa berakhirnya waktu khitbah. Bukan seperti itu. Khitbah adalah keinginan kuat yang jelas waktu berakhirnya, yang serius menyegerakan menuju ke pernikahan.

(dinukil dari buku Risalah Khitbah, Yahya Abdurrahman, dengan sedikit tambahan)
Ustadz Luky B. Rouf.
Previous
Next Post »