Seminggu yang lalu, tepatnya pada Jum’at tanggal 13 November 2015 , Paris diserang
oleh sekelompok orang yang disinyalir adalah anggota ISIS. Lebih dari seratus orang meninggal
dunia. Dunia mengecam aksi terror ini, termasuk Presiden Indonesia yang mengecam
penyerangan Paris. Dampaknya sudah mulai terlihat. Serangan balasan diluncurkan, jet tempur
Perancis melakukan serangan udara besar-besaran di wilayah Raqqa, Suriah, yang merupakan
basis ISIS. Selain itu, Perancis berencana akan menutup sejumlah masjid
(international.sindonews.com, 16/11/2015). Calon Wakil Presiden Amerika Serikat, Donald
Trump, mengusulkan agar AS menutup beberapa masjid (news.okezone.com, 17/11/2015).
Vandalisme pun terjadi di sejumlah masjid di Amerika Serikat (khazanah.republika.co.id,
17/11/2015).
Tak dipungkiri, Paris Attack ini menimbulkan kembali sensitifitas kepada Islam, atau
lebih dikenal sebagai Islamphobia. Hal ini sangat mengkhawatirkan, juga meresahkan.
Munculnya islamphobia ini tidak bisa dilepaskan dari kesalahan logika berpikir dan generalisasi
yang kebablasan. Salah satunya, mengkaitkan Islam dengan pandangan dan tindakan ISIS yang
dituduh sarat dengan kekejaman dan kekerasan. Padahal tidak semuanya. Islamophobia ini patut
dicurigai sebagai propaganda sistematis dari negara-negara Barat terhadap Islam. Sangat
mungkin, hal ini muncul sebagai cerminan dari ketakutan Barat melihat Islam sebagai alternatif
dunia bagi kapitalisme yang sedang sekarat saat ini. Meningkatnya jumlah warga negara Barat
yang memeluk agama Islam saat mereka melihat Islam sebagai solusi dalam kehidupan mereka
bisa jadi dianggap sebagai ancaman.
Islamophobia yang mengaitkan Islam dengan terorisme juga bisa digunakan oleh Barat
untuk melegitimasi kejahatan mereka terhadap Dunia Islam. Dengan begitu, siapapun yang
mengkritik kebijakan penjajahan Barat di Dunia Islam akan dituding teroris. Mengkritik
kebijakan Barat di Irak dan Suriah akan dituding pro ISIS, dan itu artinya pro teroris. Siapapun
yang mengecam pembunuhan yang dilakukan oleh Zionis Israel di Palestina akan dituding pro
Hamas, dan itu berarti mendukung teroris. Siapapun yang menentang nilai-nilai Barat seperti
liberalisme dianggap mengancam kepentingan negara. Umat Islam yang menyerukan jihad untuk
melawan penjajahan Israel di Palestina dituding sebagai penyeru kebencian.
Maraknya islamophobia merupakan upaya penyesatan politik. Tujuannya adalah untuk menutup-
nutupi kejahatan negara-negara Barat dan kemudian mengalihkan pelakunya seolah-olah adalah
umat Islam atau kelompok Islam. Seakan-akan apa yang dilakukan oleh ISIS adalah lebih kejam
dari pembunuhan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Irak, Pakistan dan Afganistan dengan
pesawat tanpa awak (drone).
Walau tidak mendukung penyerangan Paris, harus kita sadari, kini Islam yang tengah
diserang. Padahal dulu ketika Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan, jangankan untuk
mengkambinghitamkan Islam, penghinaan terhadap Nabi Muhammad pun tidak terjadi. Pada
tahun 1890, Perdana Menteri Perancis Charles de Freycinet melarang drama anti-Islam yang
berjudul ”Mahomet“, yang ditulis oleh Henri de Bornier, seorang penyair Perancis dan
dramawan setelah mendapat penentangan dari Khilafah. Ketegasan Khalifah dan kedigdayaan
Khilafah saat itu telah mampu membuat Negara barat gentar.
Tidakkah kita bosan selalu menjadi pihak tertuduh? Tidakkah kita rindu akan kemuliaan
Islam dan para pemeluknya? Mari akhiri semua ini dengan memperjuangkan kembali Islam
sebagai sistem kehidupan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Wallahu’alam bish shawab.
Fatimah Azzahra
Ibu Rumah Tangga
Bandung
ConversionConversion EmoticonEmoticon