Jangan Paksa Kaum Muslimin Memilih Pemimpin “Germo”

Oleh: Agus Setyawan, Korda BKLDK Soloraya

Setelah mengikuti “Diskusi Lintas Gerakan” menuntun saya untuk menulis tulisan ini. Kajian tersebut digawangi oleh HMI komisariat Muhammad Iqbal di Gedung Insan Cita HMI pada hari Jum’at (27/11/2015). Tema yang di ambil adalah larangan Al-Qur’an untuk mengangkat pemimpin kafir.


Menarik sekali kajian tersebut, karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa pada bulan Desember besok akan di laksanakan pilkada serentak di Indonesia, wabil khusus di Solo. Tensi politik sangat panas mengingat ada dua calon Walikota yang satu beragama Islam dan yang lainnya adalah Nasrani.

Sampai-sampai awalnya jarang sekali kajian yang membahas tema tersebut setelah mendekati pemilihan Walikota mendadak sekali tema tersebut diangkat secara intensif di forum diskusi, seminar, tabligh akbar, pengajian, bahkan mimbar jum'at. Pembagian buku larangan memilih pemimpin kafir juga masif dilakukan. Apakah salah? Tentu saja tidak, bahkan harusnya tema semacam ini menjadi kajian yang intensif bukan hanya ketika mendekati pemilihan seorang pemimpin saja. Maka terkesan ini adalah reaksi emosianal sesaat dan sarat sekali dengan kepentingan parpol.

Sudah sangat jelas bahwa banyak ayat dalam Al-qur’an melarang dengan keras menjadikan orang kafir menjadi pemimpin, salah satunya Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah : 51).

Maka tidak diragukan lagi, kita harus memilih pemimpin yang beragama Islam, itu harus alias wajib. Tapi kita perlu mengetahui bahwasanya umat Muslim harus berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan hukum buatan manusia yang bersifat lemah, merusak dan sarat sekali dengan kepentingan. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan hendaklah engakau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”. (QS Al-Ma’idah : 49). Pertanyaan yang mestinya harus kita jawab, sebenarnya pemimpin kita pilih untuk menerapkan hukum Islam atau hukum buatan manusia?

Perlu kita lihat fakta bawasanya walaupun nantinya jika terpilih adalah orang Islam ternyata hukum yang di terapkan adalah hukum buatan manusia yaitu hukum Demokrasi. Maka tidak heran banyak sekali umat Islam absen dari perhelatan pesta demokrasi ini atas dasar tuntutan aqidahnya. Tapi tak sedikit pula mereka yang golput disalahkan oleh Muslim yang pro demokrasi dengan dalih jika pemimpin di kuasai oleh orang kafir maka akan merugikan Islam, kita harus mengambil yang paling maslahat (bermanfaat) dan kalimat-kalimat senada lainnya. Perlu kita ketahui bawasanya setiap sesuatu yang melangar syariat maka akan ada madharatnya minimal untuk pelakunya. Begitupun dengan memilih pemimpin yang jelas-jelas akan menerapkan hukum kufur maka jelas keharamannya, dan pasti akan mengundang madharat.

Terkait dengan hal ini ancaman Allah sangatlah keras bagi orang yang tidak mau berhukum dengan apa yang diturunkan Allah SWT:
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang di turunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (QS Al-Ma’idah : 44).
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang di turunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim” (QS Al-Ma’idah : 45).
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang di turunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasiq” (QS Al-Ma’idah : 47).

Sudah jelas sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an selain pemimpinnya harus orang Islam, hukumnya pun harus sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. Saya punya sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab. Pertanyaanya adalah jika ada dua orang calon pemimpin yang satu Muslim dan yang lainnya kafir untuk memimpin “Germo” (menjadi pemimpin prostitusi) yang kemudian ketika terpilih harus menjalankan sistem kegermoan tersebut, mana yang akan kita pilih, orang Islam atau Kafir? Tentu kita tidak akan memilih, alasannya sudah jelas mereka karena mau Islam atau Kafir keduanya tetap haram karena memimpin bisnis haram (Zina). Begitupun dengan pemilihan pemimpin mau itu Bupati, Gubernur atau Presiden, maka kita juga harus menempatkan seperti analogi diatas. Mau dia Islam atau Kafir yang jadi pemimpin tetap tidak boleh dalam pandangan Islam karena siapapun yang terpilih secara pasti akan menjalankan hukum buatan manusia bukan hukum Allah.

Jadi kalau kita serius tidak mau dipimpin oleh orang kafir maka jangan salahkan mereka yang golput apalagi mengatakan golput haram. Golput bukanlah metode untuk mencegah orang kafir memimpin kaum Muslim, tapi hanyalah salah satu amal sholeh seorang Muslim yang tidak mau andil dalam melegalkan orang kafir memimpin kaum Muslim. Dalam sistem Demokrasi orang kafir legal menjadi kepala negara apalagi kepala daerah, padahal Allah jelas mengharamkannya. Golput adalah hanyalah salah satu amal sholeh seorang Muslim yang tidak mau andil menjerumuskan Muslim menjadi fasik atau dzalim. Dalam sistem demokrasi sesholih apapun seorang Muslim secara induvidual, maka ketika menjadi kepala negara atau kepala daerah maka aturan yang akan diterapkan adalah aturan yang dibuat oleh manusia (DPR/DPRD) yang sangat jelas keharamannya.

Bila kita serius menginginkan orang kafir tidak memimpin kaum Muslimin dan ingin terpilih pemimpin yang bertakwa baik secara individu ataupun kapasitas sebagai kepala negara atau kepala daerah jangan salahkan mereka yang Golput apalagi mengatakan Golput haram. Salahkanlah orang-orang yang tetap mempertahankan demokrasi . Jangan memaksa kaum muslim untuk memilih pemimpin “Germo”, jangan paksa kaum Muslim memilih pemimpin yang menerapkan hukum jahiliyah. Salahkanlah orang yang tetap mempertahankan sistem demokrasi.

Kita hendaknya membaca ulang Siroh Nabawiyah. Dulu beliau (Rasulullah SAW) ditawari untuk jadi raja asalkan meninggalkan dakwah tapi beliau menolak. Logikanya kalau beliau jadi raja maka akan dengan mudah merubah sistem jahiliyah jadi sistem Islam, nyatanya beliau tidak mengambil jalan tersebut karena memang beliau mendapatkan wahyu dan juga sadar bahwa jika menerima tawaran jadi raja maka konsekuensinya adalah beliau harus menjalankan hukum jahiliyah tersebut. Jadi jika ada seseorang ingin jadi pemimpin dengan jalan Demokrasi kemudian ingin mengubah menjadi sistem Islam jika berkuasa, ini jelas tidak bisa, ini jelas tidak mencontoh Nabi dan pasti akan menunai kegagalan.
Nabi tidak masuk sistem jahiliyah. Beliau berdakwah membina ummat, berinteraksi dengan ummat, mencari dukungan ahlul quwwah dan akhirnya tegaklah sistem Islam tersebut tanpa meneteskan darah setetespun. Sistem tersebut melarang dengan tegas orang kafir jadi pemimpin , sistem itu menjalankan syariat Islam secara kaffah. Sistem itu adalah Daulah Islam atau Khilafah. Jika serius tidak ingin kaum kafir memimpin kaum Muslim maka hendaklah kita berjuang menegakkah Khilafah. Mari bersama-sama tinggalkan sistem rusak demokrasi dan bersama-sama menegakkan sistem mulia Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam.


Previous
Next Post »