Mengenang Kebiadaban PKI : Pesantren Dilumpuhkan, Kiai Dibantai, Masjid Dibakar


TAHUN 1948, PKI yang dipimpin oleh Muso, menguasai kota-kota di sekitar Madiun, melumpuhkan berbagai pesantren, dan membantai para kiainya. Setelah itu, berbagai perkampungan Islam mulai menjadi sasaran. Berbagai tempat ibadah, langgar maupun masjid, dinodai dan dirusak, dibakar, kemudian berbagai jamaahnya ditangkap.
Demikian disampaikan Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) bersama Forum Santri dan Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam siaran persnya di Kantor MUI, Jakarta, Jum’at (21/8/2015).
Selain di Madiun, berbagai kekejaman PKI itu terjadi juga di Ponorogo Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan berbagai kota lain. Penangkapan para pengasuh pesantren ini terjadi terus menerus. Bahkan, pada 19 September 1948, KH. Muhammad Nur ditangkap, juga Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, dan beberapa kyai lain, semuanya dibantai dan dimasukkan ke dalam sumur bersama ratusan korban lainnya. Ada juga KH. Imam Shofwan, dikubur hidup-hidup oleh PKI sembari mengumandangkan adzan.
Sejumlah aksi massa PKI juga dilakukan pada pertengahan 1961, yaitu peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajab, Kalibaru, dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di kampong Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai peristiwa pembunuhan KH. Djufri Marzuki, dari Larangan, Pamekesan, dan Madura (28 Juli 1965).
Aksi massa sepihak yang dilakukan PKI, pada kenyataannya sangat meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Sebab, dalam aksi-akasi itu, PKI melancarkan slogan-slogan pengganyangan terhadap apa yang mereka sebut tujuh setan desa. Tujuh setan dimaksud adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakar (LSIK, 1988:72).
Dengan masuknya “pengirim zakat” ke dalam kategori tujuh setan desa, jelas umat Islam merasa sangat terancam, aksi massa sepihak yang dilakukan PKI rupanya makin meningkat jangkauannya. Artinya, PKI tidak saja mengkapling tanah-tanah milik negara dan milik tuan tanah, melainkan merampas pula tanah bengkok, tanah milik desa, malah yang meresahkan sekolah-sekolah negeri pun akhirnya diklaim sebagai sekolah milik PKI.
Melecehkan Islam
PKI telah menciptakan suasana sedemikian tegang, sehingga sampai pada situasi to kill or to be killed(membunuh atau dibunuh) dalam sebuah perang saudara. Bentrok Banser dengan PKI pecah di Prambon. Awal dari bentrok itu dimulai ketika Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati umat Islam, yakni: “Gusti Allah dadi manten” (Allah menjadi pengantin).
Tontonan ludruk yang temanya dianggap menghina Islam ini membuat Banser melakukan pembubaran. Para pemain dihajar. Bahkan, salah seorang pemain yang memerankan raja, saking ketakutan bersembunyi di kebun dengan pakaian raja. Bulan Juli 1965, terjadi insiden di Dampit Kabupaten Malang. Ceritanya, di rumah seorang PKI diadakan perhelatan dengan menanggap ludruk Lekra dengan lakon “Malaikat Kawin”. Banser datang dari berbagai desa sekitar untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Aksi massa yang cukup berbahaya dari manuver politik PKI adalah usaha-usaha memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan yang dikenal dengan nama “aksi sepihak”. Dalam tindak-tindak kekerasan yang dinamakan aksi sepihak itu, PKI tidak segan-segan mempermalukan pejabat pemerintah dan bahkan melakukan perampasan-perampasan hak milik orang lain yang mereka golongkan borjuis-feodal. PKI tidak malu mengkapling tanah begara maupun tanah milik warga masyarakat yang mereka anggap borjuis.
Perlawanan GP Ansor
Aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang bukan PKI. Dikatakan meresarkan karena pada umumnya yang menjadi korban adalah anggota PNI, PSI, eks Masyumi, NU, dan organisasi Muhammadiyah.
Ironisnya, aksi-aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI itu belum pernah mendapat perlawanan dari anggota partai dan organisasi bersangkutan, kecuali GP Ansor, yang mulai menunjukkan perlawanan memasuki tahun 1964 – dalam hal ini KH. M. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng – Jombang, yang tampil sebagai pendiri Barisan Serbaguna Ansor (Banser). [Desastian/Islampos]
Previous
Next Post »