Apa Salahku Ibu?




SEKIRANYA Allah Subhanahu Wa Ta’ala tiada berfirman agar seorang anak selalu berbuat baik kepada seorang ibu, karena telah mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula. Niscaya aku patut membencimu, sebab hanya karena lelaki yang menghamilimu tidak bertanggungjawab dengan begitu keji engkau membuangku.
Sungguh, Bu. Apa salahku padamu? Katakan alasanmu, mengapa sebegitu keji membuangku seperti sampah. Atas nama cinta kalian lakukan zina, begitu aku ‘ada’ dianggap aib bagi keluarga. Sadarlah, Bu, akulah wujud cinta kalian yang membabibuta. Aku terlahir agar membuat kalian berpikir, membuat anak bukan sekadar coba-coba. Dari itu jangan menggampangkan tubuhmu untuk disentuh seorang pria apabila belum ada kesanggupannya menikahimu.
Aku tahu, Bu. Rasa cintamu yang begitu besar membuatmu terlalu gegabah menafsirkan ‘penyerahan jiwa dan badan’ ialah sebentuk pembuktian. Tetapi mengertilah, dengan cara yang demikian membuat kesucian cinta menjadi jalan kesesatan. Berpasrah dalam pelukan lelaki atas nama pacaran hingga hamil duluan itu sungguh kecerobohan. Akibatnya, saat lelakimu tak bertanggungjawab akulah yang jadi korban, terbuang di tempat sampah. Padahal bisa jadi aku bisa mengubah nasib burukmu menjadi lebih baik di masa depan.
Ibu… Ibu… Ibu…. kusebut namamu tiga kali sesuai perintah Nabi untuk membuktikan rasa terima kasihku bersebab dirimu telah sudi melahirkanku. Tetapi ketahulilah, aku masih butuh air susumu, aku butuh belaianmu, aku butuh pelukanmu sebagai bukti bahwa dirimu memang pantas ku panggil sebagai “Ibu”. Hanya saja, masih pantaskah kupanggil engkau seorang “Ibu” sedangkan telah nyata dengan ke dua tanganmu engkau membuangku. Masih pantaskah kupanggil engkau seorang “Ibu” sedangkan telah nyata engkau begitu mudahnya dibodohi lelakimu?
Harusnya ketika ada lelaki yang menyatakan perasaan cinta, engkau berani menegaskan cinta bukan sebatas ujaran. Cinta bukan panggung penyair yang dengan lantang bergaung sebagai sebuah pembacaan, tetapi cinta itu panggung pernikahan yang mesti mewujud dalam pembuktian jiwa dan badan!
Namun, jika dirimu sudah terlanjur pernah sebegitu dungu akibat rasa cinta yang begitu menggebu, jangan pula aku yang dijadikan korban atas kedunguanmu. Andai saja engkau berkenan membesarkanku, akan kita buktikan pada lelaki yang tak bertanggungjawab itu, bahwa dirimu mampu menjadi ayah sekaligus ibu dari seorang anak yang In-syaa Allah diberi keluasan ilmu.
Ibu… Ibu… Ibu… aku takut sekali. Ini malam Minggu, bisa jadi banyak remaja dungu yang juga menafsirkan cinta sebagai nafsu, lalu begitu mudahkan berzina atas nama kasihsayang dan juga rindu. Sungguh, badanku menggigil, napasku sesak, membayangkan ada yang mengalami nasib sepertiku. Dibuang di tempat sampah oleh perempuan yang harusnya disebut “Ibu”. []
Arief Siddiq Razaan, 19.09.2015
Previous
Next Post »